Berdasarkan UU KUP NOMOR 28 TAHUN 2007 Pasal 1 ayat 1
disebutkan bahwa pengertian Pajak
adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam pengertian tersebut ada beberapa
komponen yang WAJIB Anda tahu yaitu:
- Pajak adalah Kontribusi Wajib Warga Negara
- Pajak bersifat MEMAKSA untuk setiap warga negara
- Dengan membayar pajak, Anda tidak akan mendapat imbalan langsung
- berdasarkan Undang-Undang
ini
adalah penjelasan yang dimaksud oleh negara namun ita lihat perbandingannya
dalam hukum islam apa sesungguhnya yang menjadikan pembeda.
A.
DEFINISI PAJAK( menurut islam)
Dalam
istilah bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama Adh-Dharibah atau bisa juga
disebut Al-Maks, yang artinya adalah ; “Pungutan yang ditarik dari rakyat oleh
para penarik pajak.” (Lihat Lisanul Arab IX/217-218 dan XIII/160, dan Shahih
Muslim dengan syarahnya oleh Imam Nawawi XI/202).
Menurut
imam al-Ghazali dan imam al-Juwaini, pajak ialah apa yang diwajibkan oleh
penguasa (pemerintahan muslim) kepada orang-orang kaya dengan menarik dari
mereka apa yang dipandang dapat mencukupi (kebutuhan Negara dan masyarakat
secara umum, pent) ketika tidak ada kas di dalam baitul mal.” (Lihat Syifa’ul
Ghalil hal.234, dan Ghiyats al-Umam Min Iltiyats Azh-Zhulmi hal.275).
1)
Firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
cara yang batil….”. (QS. An-Nisa’: 29).
Dalam
ayat ini Allah melarang hamba-Nya saling memakan harta sesamanya dengan jalan
yang tidak dibenarkan. Dan pajak adalah salah satu jalan yang batil untuk
memakan harta sesamanya.
2)
Hadits Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, berkata: Saya mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا يَدْخُلُ
الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ
“Tidak
akan masuk surga orang yang mengambil pajak (secara zhalim, pent).” (HR. Abu
Daud II/147 no.2937. Hadist ini dinilai dho’if oleh syaikh Al-Albani)
Dari
beberapa dalil di atas, banyak para ulama yang menggolongkan pajak yang
dibebankan kepada kaum muslim secara zhalim dan semena-mena, sebagai perbuatan
dosa besar, seperti yang dinyatakan Imam Ibnu Hazm di dalam Maratib al Ijma’,
Imam adz-Dzahabi di dalam bukunya Al-Kabair, Imam Ibnu Hajar al-Haitami di
dalam az- Zawajir ‘an Iqtirafi al Kabair, Syaikh Shiddiq Hasan Khan di dalam ar-Raudah
an-Nadiyah, Syaikh Syamsul al-Haq Abadi di dalam Aun al-Ma’bud dan selainnya
Kesimpulan
Hukum Pajak dalam Fiqih Islam:
Setelah
memaparkan dua pendapat para ulama di atas beserta dalil-dalilnya, maka jalan
tengah dari dua perbedaan pendapat ini adalah bahwa tidak ada kewajiban atas
harta kekayaan yang dimiliki seorang muslim selain zakat, namun jika datang
kondisi yang menuntut adanya keperluan tambahan (darurat), maka akan ada
kewajiban tambahan lain berupa pajak (dharibah). Pendapat ini sebagaimana
dikemukakan oleh al-Qadhi Abu Bakar Ibnu al-Arabi, Imam Malik, Imam Qurtubi,
Imam asy-Syathibi, Mahmud Syaltut, dan lain-lain. (Lihat Al-Fatawa Al-Kubra,
Syaikh Mahmud Syaltut hal.116-118 cetakan Al-Azhar).
Diperbolehkannya
memungut pajak menurut para ulama tersebut di atas, alasan utamanya adalah
untuk mewujudkan kemaslahatan umat, karena dana pemerintah tidak mencukupi
untuk membiayai berbagai “pengeluaran”, yang jika pengeluaran itu tidak
dibiayai, maka akan timbul kemadharatan. Sedangkan mencegah kemudaratan adalah
juga suatu kewajiban. Sebagaimana kaidah ushul fiqh: Ma layatimmu al-wajibu
illa bihi fahuwa wajibun (Suatu kewajiban jika tidak sempurna kecuali dengan
sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib).
Muhammad
bin Hasan Asy-Syaibani berkata, “Jika sekiranya seorang penguasa (pemerintahan
muslim) hendak menyiapkan sebuah pasukan perang, maka sepantasnya dia
menyiapkannya dengan harta yang diambil dari baitul mal kaum muslimin (kas
Negara) jika di dalamnya memang ada harta kekayaan yang mencukupinya, dan tidak
boleh baginya mengambil harta sedikitpun dari rakyat. Akan tetapi jika di dalam
baitul mal tidak ada harta yang mencukupi penyiapan pasukan perang, maka
dibolehkan bagi penguasa/pemerintah muslim menetapkan kebijakan kepada mereka
(orang-orang kaya agar membayar pajak, pent) sehingga pasukan perang yang akan
berjihad menjadi kuat.” (Lihat As-Sair Al-Kabir beserta syarahnya I/139). (MHZ)


0 komentar:
Posting Komentar