Dalam postingan berikut, saya akan membawa anda untuk memandang sejenak pada sudut pandang lain dari perpajakan. Selama ini postingan saya cenderung mengarah pada perspektif bahawa sistem pajak indonesia itu baik-baik saja, dan tentunya ada penegasan penerimaan terbesar ada pada pajak.
Tapi seperti yang saya sampaikan tadi, "sudut pandang" yang lain dari sistem perpajakan kita.
saya akan mengutip wawancara terhadap Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA).
Bagaimana pelaksanaan dan tata kelola pajak kita saat ini, apakah menggairahkan atau justru mencemaskan?
Pajak
menyumbang paling sedikit 75% dari total penerimaan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN). Hal ini sangat signifikan dan saat ini kita
makin tergantung pada penerimaan pajak. Namun yang terjadi sekarang
justru Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan memungut
pajak makin rendah.
Apa yang menjadi akar masalahnya?
Akar
masalahnya karena makin banyak potensi yang tidak bisa dipungut oleh
petugas pajak. Itu karena praktek penghindaran pajak, penegakan hukum
yang lemah, dan tidak ada koordinasi yang baik antar instansi
pemerintah, serta masih adanya moral hazard antara aparatur dan wajib pajak.
Berarti inti persoalannya adalah kompetensi dan intergritas manusianya, betulkah?
Betul,
seperti kita tahu pajak salah satu sektor penting dan juga sangat
menarik bagi semua orang. Prinsipnya adalah tidak ada orang yang suka
membayar pajak, tidak ada orang yang rela membayar pajak, sehingga
negara harus memaksa. Dalam konteks ini ruang negosiasi menjadi tersedia
cukup lebar. Di sini pentingnya kita memiliki sistem perpajakan yang
baik dan ditopang oleh peraturan yang baik, administrasi yang baik,
serta manusia yang kompeten dan berintegritas.
Berarti tata kelola perpajakan kita belum ideal. Bagaimana tata kelola perpajakan yang ideal itu?
Tahun
ini, 2015, merupakan tahun yang menjadi potret masih tertinggalnya
sistem perpajakan kita. Selama ini kita mewarisi sistem perpajakan yang
tidak didahului oleh suatu cara berpikir reformasi pajak yang
komprehensif dan ideologis, sehingga sekarang ada distorsi bahwa
seolah-olah reformasi pajak adalah reformasi administrasi. Padahal
seharusnya reformasi kebijakannya dulu. Visi pemerintahan yang baik
seharusnya visi yang berkeadilan dan membawa kesejahteraan bagi rakyat.
Apakah sistem pajak kita sudah mencerminkan prinsip keadilan dan pemerataan?
Belum,
masih sangat jauh. Indikasinya, jumlah wajib pajak saat ini sebanyak
28 juta, tapi 24 juta wajib pajak adalah karyawan seperti saya, Anda,
dan sebagian besar lainnya yang menerima gaji dan sudah dipotong oleh
pemberi kerja. Artinya, memang mereka sudah patuh. Sementara empat juta
lainnya, sebanyak dua juta adalah perusahaan dan sisanya adalah orang
pribadi bukan karyawan (usahawan). Kontribusi pajak juga mencerminkan
betapa belum adilnya sistem pajak kita.
Bagaimana persentasenya?
Dapat
dilihat dari penerimaan pajak penghasilan dari pegawai/karyawan
mencapai Rp 105 triliun. Sementara itu dari pribadi non karyawan hanya
Rp 5 triliun. Artinya, karyawan menyumbang pajak 20 kali lebih besar
dibanding non karyawan. Padahal prinsip pajak Abillity to Pay
(kemampuan membayar). Yang punya uang atau penghasilan lebih tinggi,
membayar pajak lebih besar. Struktur pajak kita ternyata tidak
mencerminkan hal itu, justru yang ada malah terbalik.
Apakah Anda bisa memberikan contoh negara yang tata kelola perpajakannya sudah baik?
Data
dari organisasi untuk kerja sama dan pembangunan ekonomi (Organisation
for Economic Co-operation and Development/OECD) menunjukkan,
negara-negara maju sudah bisa mencapai level dimana penerimaan pajak
pribadi lebih tinggi dibandingkan penerimaan pajak penghasilan badan dan
pajak pertambahan nilai (PPN). Artinya, ada korelasi antara
demokratisasi, keterbukaan ekonomi, partisipasi warga dengan level
penerimaan pajak. Ironisnya kita selalu dipuja sebagai negara yang
secara prosedural demokratis, faktanya demokrasi prosedural tidak
membawa dampak signifikan dari sisi pajak. Dugaannya adalah itu karena
para elit, para oligarki justru tidak membayar pajak, tapi secara
politik mereka yang menguasai. Jadi mereka yang berkepentingan
melanggengkan sistem perpajakan yang tidak adil seperti terjadi saat
ini.
Siapa sebenarnya pelaku kejahatan di dunia perpajakan?
Sebenarnya
kalau dipetakan ada beberapa kelompok pelaku. Yang paling kecil yaitu
para pelaku di underground ekonomi yang perilaku sebenarnya bukan ingin
menghindar pajak, tapi karena mereka sebagian belum bisa mengakses
ekonomi formal. Misalnya, usaha-usaha perorangan yang belum terdata atau
tidak tercatat. Kelompok kedua adalah pelaku usaha menengah yang memang
sebenarnya mampu tetapi mereka tidak mau. Biasanya para pengumpul besar
di sektor-sektor komoditi seperti pengumpul usaha sawit, batu bara,
kayu, dan sebagainya. Mereka cukup besar kontribusinya. Kelompok kedua
ini sebagian memang belum aware tapi sebagian sengaja.
Kelompok
yang paling berat atau paling atas yang sudah sadar tapi sengaja. Kita
bisa mengelompokkan mereka ke dalam dua bagian. Pertama, pelaku usaha
yang selama ini melakukan skema tax planning agresif sehingga
menghindar pajak. Jumlah mereka cukup banyak. Perusahaan-perusahaan
mereka berada di Indonesia tapi pemiliknya bukan orang Indonesia. Mereka
berasal dari Singapura, Hongkong, dan sebagainya. Kedua, kelompok super
kaya yang selama ini berlindung di balik profesi dengan bekerja sebagai
direksi atau komisaris. Mereka menarik uang dari perusahaan dalam
bentuk gaji yang sudah dipotong tetapi terselubung.
Apakah mengambil dari laba?
Profit laba yang diambil sebenarnya, tapi tidak terkena pajak karena kemungkinan kesalahan accounting.
Selain pelaku dari kalangan pengusaha, apakah ada pelaku kejahatan pajak lainnya misalnya ada kolusi atau korupsi?
Pelaku
lainnya tentu ada karena pada sistem perpajakan kita tidak mungkin
orang melakukan sendiri. Yang paling rawan adalah kolusi antara aparatur
dengan pengusaha. Aparatur bisa dibagi dua, aparatur keamanan yang
menjadi backing atau centengnya, dan aparatur yang seharusnya
merumuskan kebijakan dengan benar. Itu berbahaya karena dari daerah dan
pusat polanya hampir mirip.
Bukankah penerimaan pajak ada targetnya?
Kita
pernah melakukan riset atau penelitian pungutan terhadap restoran atau
hotel di daerah kabupaten kota. Rata-rata hanya 10% dari potensi yang
dipungut. Misalnya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta ketika
sebelum dan sesudah penerapan sistem online akan melihat ada lonjakan.
Kalau sistem ini diberlakukan di semua daerah dengan sistem cash
register akan mengurangi banyak celah yang seharusnya bisa dimanfaatkan
oleh para pengembang pajak. Apalagi leg of competence menjadi
faktor dominan. Jadi, kompetensi teknis dari aparatur Pemda termasuk
integritas sangat menentukan bagi daerah dan pusat. Hal itu berbeda lagi
mappingnya. Di pusat secara kompetensi pegawai pajak pusat sudah bagus. Mereka sudah mempunyai skill bagus, baik pendidikan formal maupun pelatihannya. Sayangnya selama ini Dirjen Pajak dikerdilkan.
Apakah ada buktinya?
Mereka diberi otoritas tapi tidak powerfull
karena banyak kepentingan mereka disandera kebijakan. Mereka disandera
menjadi sebuah Ditjen, tapi secara otoritas mereka bisa melakukan kerja
sama dengan gubernur Bank Indonesia (BI), kepala kepolisian RI
(Kapolri), jaksa agung, dan sebagainya yang notabene pejabat setingkat menteri, sementara yang bersangkutan hanya direktur jenderal (Dirjen).
Berapa sebenarnya angka persis rasio pajak kita?
Tax ratio
kita untuk pajak pusat baru sekitar 11,8%. Kalau ditambah pajak daerah,
dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor mineral dan batu
bara (Minerba) baru sekitar 13,5% sampai 14%.
Apakah itu sudah ideal?
Masih jauh karena negara sebaya Indonesia yaitu lower middle income country sudah mencapai 16% sampai 17%. Setiap tahun kita kehilangan Rp 450 triliun.
Bagaimana cara meningkatkan rasio pajak kita?
Sebenarnya
selama ini ada sebuah kesalahpahaman yang akut dalam sistem
pemerintahan kita yang belum memahami sistem perpajakan yang tepat.
Sebenarnya penerimaan pajak hanya outcome dari sistem kepatuhan yang baik. Jadi yang harus dibangun adalah kepatuhannya. Kepatuhan mempunyai dua pilar, yaitu law enforcement dari sisi pemerintah, dan awareness
dari sisi pembayar pajak. Kedua-duanya harus dibangun. Caranya,
pertama, harus membangun sistem yang memungkinkan partisipasi orang
seluas mungkin di Indonesia. Saat ini seolah olah yang mempunyai
otoritas memungut pajak hanya Ditjen pajak, yang lain tidak bisa
membantu. Ini merupakan persoalan. Dari sisi masyarakat ada problem
mengenai kualitas belanja. APBN kita masih sangat buruk. Artinya, kita
membayar pajak pasti mengharap reward yang baik. Namun ini belum terjadi karena belanja rutin, dan belanja modal masih lebih besar dibandingkan belanja sosial.
Berapa persen rata-rata tingkat kebocoran pajak kita?
Tax Ratio ada gap 4 sampai 5% artinya kita harus bisa memungut pajak minimal Rp 400 trilliun lebih tinggi setiap tahun. Jika dihitung dari tax coverage ratio
lebih besar lagi karena saat ini baru bisa memungut 55% dari potensi.
Kalau sekarang kita mempunyai Rp 1.000 triliun, sebenarnya Indonesia
mempunyai Rp 1.000 triliun lagi yang dipungut.
Sehubungan dengan investigasi pajak, apa saja temuan saat melakukan investigasi?
Temuan dari yang paling kecil seperti pajak daerah, selain lack of competence, ada moral hazard sehingga pungutannya rendah, rata-rata baru 10%. Yang kedua lebih tinggi yaitu pola backing. Kebanyakan pengusaha di daerah berkolaborasi dengan penguasa setempat dan biasanya mereka mempunyai backing
sehingga petugas-petugas tidak berani menjangkau. Biasanya di pusat
makin dekat dengan kekuasaan politik, kebanyakan dari mereka steril dari
penegakan hukum pajak. Ini persoalan besar. Sebenarnya prioritas
pemerintah bila ingin mencapai target penerimaan yang baik, maka
seharusnya fokus pada satu visi pajak untuk keadilan dan pemerataan
serta kesejahteraan. Jadi harus menyasar pada kelompok the have
yang memiliki kemampuan membayar tinggi. Kelompok itu tidak banyak. Data
kami menunjukkan ada Rp 4.000 triliun dana pihak ketiga di bank,
sebanyak Rp 2.000 triliun hanya dimiliki 150 ribu rekening, sementara Rp
2.000 triliun lagi dimiliki 149 juta rekening. Satu keluarga kaya
mempunyai 4 rekening berarti hanya perlu mengawasi sekitar 45 ribu
orang. Jadi sebenarnya tidak susah.
Ada satu wacana yang digulirkan Menteri Agraria @Ferry Mursyidan Baldan untuk menghapus Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Bagaimana komentar Anda?
Saya melihat ide dari Menteri Agraria masih ide populis yang tidak berpijak pada realitas.
Bukankah populisme terkesan dekat dengan kepentingan rakyat?
Betul, tapi populisme pemerintahan sekarang menurut saya populisme kampungan.
Dimana letak kampunganya?
Kampungannya
seolah-olah para menteri Jokowi mencari-cari isu yang bisa mengerek
citra mereka masing-masing termasuk PBB ini. Faktanya hampir semua Pemda
bergantung pada penerimaan PBB.
Apa dampaknya?
Dampaknya
Pemda akan defisit. Kalau defisit akan meminta dana ke pusat dalam
bentuk dana alokasi umum. Itu merupakan beban pajak yang besar bagi kita
semua. Problem berikutnya adalah apa pengganti PBB ini? Kita belum
menemukan satu jenis pajak yang bisa mengantikan PBB karena PBB adalah
jenis pajak paling tua di Indonesia dengan sistem yang sudah paling
baik. Hanya bagaimana sistem PBB ini lebih adil bagi masyarakat kelas
bawah, tidak berpenghasilan. Saya kira mekanismenya sudah ada.
Apa mekanismenya?
Ini persoalan karena ketika Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2009 melimpahkan kewenangan memungut PBB ke daerah tidak disertai transfer of knowledge, tidak disertai capacity building terhadap pegawai Pemda. Padahal kunci PBB adalah appraisal
penilaian. Penilai butuh pendidikan formal, harus ada kompetensi
khusus. Biasanya pendekatannya menggunakan pendekatan pasar atau market approach. Yang kedua bisa menggunakan pendekatan pembanding comparable approach.
Kalau tidak ada maka menggunakan pendekatan nilai wajar. Pendekatan
yang ketiga seharusnya bisa digunakan. Persoalanya bila tidak ada
kompetensi maka cara paling mudah adalah pendekatan pasar. Para penilai
di Pemda menggunakan pendekatan pasar. Padahal Nilai Jual Obyek Pajak
(NJOP) berdasarkan pada nilai yang seharusnya mendekati nilai
sebenarnya, sementara di pasar spekulatif. Contohnya, di Jakarta NJOP
menjadi spekulatif karena berdasarkan pada pasar yang spekulatif,
sehingga dimanfaatkan oleh orang-orang yang berburu rente untuk
menaikkan harga properti.
Apakah ada kabupaten, kota, atau provinsi yang bisa diapresiasi karena tata kelola perpajakannya sehat?
Saya
mencoba melihat laporan keuangan daerah, kebanyakan problem daerah
Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak pernah lebih dari 10%, sisanya
berasal dari dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Artinya, memang
sangat sulit melihat daerah yang memiliki tata kelola pajak yang baik
tapi kita bisa melihat beberapa daerah seperti sudah memiliki government yang baik.
Misalnya, yang sudah menerapkan government yang baik seperti kota Surabaya. Surabaya sudah menggunakan e-budgeting. Selain itu, Banyuwangi sudah bisa meng-create potensi-potensi lokal, juga di Bantaeng. Sebenarnya Jakarta sudah mengawali sistem pajak online tapi ternyata tidak diikuti dengan capacity building, peningkatkan knowledge, dan intergritas aparatur, sehingga upaya reformasi pajak di daerah Pemprov DKI Jakarta tidak berjalan dengan baik.
Sehubungan
dengan reformasi pajak, apa prioritas agenda yang seharusnya dilakukan
pemerintahan Joko Widodo dan juga pemerintah daerah?
Ada
dua hal, yang pertama sebaiknya Presiden Joko Widodo membongkar visi
perpajakan. Caranya dengan membongkar bangunan konseptual filosofi UU
perpajakan dari pusat sampai daerah. Yang terakhir harus diciptakan
sistem administrasi pajak yang baik menggunakan pendekatan teknologi
informasi dan didukung orang-orang yang kompeten.
Bagaimana dengan punishment bagi pengemplang pajak?
Saya kira punishment juga menjadi kunci utama reformasi pajak.(ks)


0 komentar:
Posting Komentar